Welcome to my blog

Kamis, 26 Februari 2015

Sejarah perang ta'if


Peristiwa penolakan Bani Tsaqif saat hijrah ke Thaif itu merupakan salah satu kejadian yang dianggap sebagai salah satu kejadian paling menyulitkan bagi Rasulullah SAW.
Thaif. Wilayah yang berjarak sekitar 80 kilometer dari Tanah Suci Makkah itu merupakan salah satu tempat yang bersejarah dalam perkembangan agama Islam. Ke wilayah yang bersuhu dingin itulah, Rasulullah pernah berhijrah. Di tempat itulah, kaum Muslim di era Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah bertempur membela agama Allah.
Peristiwa hijrah Rasulullah SAW ke Thaif, menurut Thabaqat Ibnu Sa’ad, terjadi pada bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian. Tak lama setelah Khadijah dan Abu Thalib wafat, tekanan kaum kafir Quraisy semakin menjadi-jadi. Abu Thalib-paman Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam-semasa hidupnya selalu melindunginya dari siksaan dan teror kafir Quraisy.
Sepeninggal kedua orang yang dicintainya, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mencoba untuk berhijrah. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, menurut Dr Akram Dhiya al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah, berupaya mencari lahan dakwah baru di Thaif. Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mencoba meminta bantuan kepada Tsaqif.
“Namun, mereka malah memerintahkan anak-anak untuk melempari Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan bebatuan,” papar Dr Akram. Al-Waqidi menyebutkan, Rasulullah SAW tinggal di Thaif selama 10 hari. “Seluruh rincian peristiwa hijrah ke Thaif itu ditulis oleh para penulis kitab Al-Maghazie,” ungkap Dr Akram.
Peristiwa penolakan Bani Tsaqif saat hijrah ke Thaif itu merupakan salah satu kejadian yang dianggap sebagai salah satu kejadian paling menyulitkan bagi Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Hal itu pernah diungkapkan Rasulullah SAW ketika Aisyah bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.
“Apakah engkau mengalami peristiwa yang amat menyulitkan setelah peperangan Uhud,” tanya Aisyah. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Sungguh aku temukan (rasakan) suatu yang amat menyulitkan di kaummu, yaitu peristiwa Aqbah di Thaif. Tatkala aku menawarkan misiku pada Ibnu Abdu Yalil bin Abdi Kalal, ia tak mereseponsku.”
Menurut Dr Akram, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pun pergi dalam keadaan masygul. Bahkan, beliau mengaku sempat tak sadar hingga sampai di Qorn Tsa’alib. “Aku menengadahkan kepalaku, tiba-tiba ada sekumpulan awan memayungiku. Aku pun mengarahkan pandanganku ke sana dan melihat Jibril. Ia menyeruku: “Sesungguhnya Allah Ta’aalaa mendengar apa yang dilakukan oleh kaummu terhadap dirimu dan penolakan mereka padamu. Allah telah mengutus malaikat gunung untuk melayani semua keinginanmu.”
Maka, Malaikat itu mengucapkan salam dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah mendengar apa yang diucapkan kaummu kepadamu. Aku malaikat gunung diutus oleh Rabbmu untuk melayani semua perintah dan permintaanmu. Jika engkau mau, niscaya akan kami timpakan gunung Ahsyabain ini kepada mereka.”
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Justru aku berharap ada generasi mereka di kemudian hari yang menyembah Allah dan tidak berbuat syirik sedikit pun.” (Sahih al-Bukhari, Fathul Bari 6: 312-313).
Menurut Dr Akram, setelah mengalami masa-masa yang sulit itu, yakni hijrah ke Thaif, Allah Ta’aalaa menghibur Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan peristiwa Isra Mikraj, yakni perjalanan di malam hari dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa dan terus hingga menghadap Sang Khalik di Sidratul Muntaha.
Perang Thaif
Thaif juga tercatat dalam sejarah Islam karena kaum Muslim di era Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah mengalami Perang Thaif. Setelah pasukan kaum Muslim berhasil memukul mundur pasukan tentara Hawazin dan Tsaqif dalam Perang Hunain, pasukan tentara Muslim terus mengejar mereka hingga ke Thaif. Upaya itu dilakukan untuk mematikan kekuatan kaum kafir yang selalu memerangi umat Islam.
Sebelum melarikan diri ke Thaif, pasukan Hawazin dan Tsaqif sempat dikejar hingga Nakhlah dan Authas. Namun, tentara kafir masih bisa melarikan diri hingga ke Kota Thaif. Di kota itulah, orang-orang Tsaqif melarikan diri. Bahkan, di kota itu pula panglima tentara Hawazin, Malik bin Auf an-Nasri, bersembunyi.
Menurut Dr Akram, Kota Thaif sangat strategis digunakan untuk melarikan diri bagi tentara musuh. Betapa tidak, wilayah itu dikelilingi perbukitan dengan pagar-pagar serta benteng-benteng pertahanan yang kokoh. “Tak ada jalan yang bisa menembus ke sana, kecuali beberapa pintu yang sudah ditutup oleh orang-orang Tsaqif,” tuturnya.
Mereka menutup pintu masuk ke Thaif setelah menyimpan perbekalan yang diperkirakan bisa mencukupi kebutuhan selama satu tahun dan mempersiapkan segala peralatan perang. Menurut Dr Akram, pasukan tentara Muslim sampai di Thaif pada 20 Syawal. Tentara kaum Muslim belum sempat beristirahat setelah Perang Hunain dan mengejar musuh hingga ke Nakhlah dan Authas yang dimulai pada 10 Syawal.
Menurut riwayat Urwah bin az-Zubair dan Musa bin Uqbah dalam As-Sunan al-Kubra, pasukan tentara Muslim mengepung Thaif selama belasan malam. Menurut Dr Akram, ada pula riwayat yang menyebutkan, pengepungan itu berlangsung selama 25 hari, 30 hari dan 40 hari.
Kedatangan kaum Muslim ke Thaif melalui jalan lama, yakni dari arah selatan. Menurut Dr Akram, pasukan tentara Muslim sampai di Thaif setelah melewati Nakhlah al-Yamaniyah, kemudian Qarnul Manazil, sejauh 80 kilometer dari Makkah dan 53 kilometer dari arah Thaif. Jalur selatan dipilih karena bagian utara dipagari gunung-gunung yang sulit didaki.
“Jalur selatan dipilih karena Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mencoba menghalangi antara kaum Tsaqif dan sekutunya dari suku Hawazin yang ada di sebelah tenggara Thaif,” papar DR Akram.  Dalam Perang Thaif, pasukan kaum Muslim diserang dengan anak-anak panah yang dilesatkan kaum Tsaqif.
Mengurung kaum Tsaqif di Thaif membutuhkan pengorbanan yang begitu besar. Ibnu Ishaq menyebutkan, sebanyak 12 sahabat gugur dalam perang itu. Sedangkan dari musuh, hanya tiga orang yang tewas. Rasululah sama sekali tak mau membinasakan kaum Tsaqif. Beliau justru berharap agar orang-orang Tsaqif bisa ditaklukkan dan masuk Islam.
Sebab, kaum itu adalah orang-orang cerdik dan pintar. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pun berdoa: “Ya Allah, berilah petunjuk bagi orang-orang Tsaqif.” Hingga akhirnya, doa dan harapan Rasulullah itu tercapai. Kaum Tsaqif sempat mengirimkan utusannya menghadap Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dan menyatakan keislamannya.

Sumber:http://republika.co.id:8080/koran/0/130903/Thaif_Dari_Hijrah_hingga_Perang (dengan sedikit editing pada beberapa bagian)

Sejarah perang tabuk

perang02
Ada tiga orang yang mereka diuji keimanannya oleh Allah ketika ada seruan jihad pada perang tabuk. Salah satunya adalah Ka’ab bin Malik rodhiyallaahu ‘anhu, beliau adalah yang termuda di antara dua Shahabat yang lain. Pada saat seruan untuk berjihad, Ka’ab bin Malik saat itu merasa bahwa dia sangatlah pada kondisi paling kuat, dan tidak memiliki udzur untuk tidak ikut berperang, bahkan kendaraan untuk berperang sudah dia siapkan. Namun, Ka’ab menunda-nunda keberangkatannya, yang akhirnya dia tidak berangkat berjihad sama sekali.
Kemudian sepulangnya Rosulullaah shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam dari tabuk, maka menghadaplah orang-orang yang tidak ikut berperang. Ketika itu orang-orang munafiq mengemukakan alasan-alasan dusta agar mereka selamat. Namun apa yang dilakukan oleh Ka’ab adalah jujur, Ka’ab mengatakan bahwa yang dia lakukan itu tidaklah memiliki udzur dan Ka’ab mengharapkan ampunan dari Allah dan tidak berdusta terhadap Allah dan RosulNya.
Ternyata Allah menunda memberikan keterangan bahwa taubatnya diterima, agar semua itu menjadi pelajaran berharga dan semua itu penuh dengan hikmah. Ka’ab bersama dua Shahabat yang lain mengalami pemboikotan oleh manusia selama 50 malam. Sampai-sampai mereka bertiga merasa dunia ini sempit dan merasa diasingkan. Namun setelah itu akhirnya Allah memberitahukan kepada Nabi shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam bahwa taubatnya Ka’ab diterima.
Sungguh terdapat faedah-faedah dari penggalan kisah ini. Di antaranya yang disebutkan Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahullaah dalam “Jaami’ As-Siroh”;
“Jika seseorang memiliki peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan melaksanakan ketaatan kepadaNya, maka ia harus membulatkan tekad untuk melakukannya, bersegera kepadanya, dan tidak mengulur-ulurnya. Terutama jika ia tidak yakin dengan kemampuannya dan memiliki faktor-faktor untuk meraihnya. Sebab, tekad dan kemampuan itu cepat lenyap, jarang sekali menetap. Allah akan menghukum siapa saja yang telah Dia bukakan untuknya pintu kebajikan lalu ia tidak segera melakukannya, dengan menghalangi antara hatinya dengan kehendaknya. Akibatnya, ia tidak bisa melakukannya setelah meniatkannya sebagai bentuk hukuman terhadapnya. Barangsiapa tidak memenuhi seruan Allah dan RosulNya, ketika Dia menyerunya, maka Dia menghalangi antara hatinya dengan kehendaknya. Akibatnya, setelah itu, ia tidak bisa lagi memenuhi seruanNya. Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rosul apabila Rosul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” {QS. Al-Anfal: 24.}
Allah telah menyatakan hal ini dalam firmanNya,
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُواْ بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan pengelihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Quran) pada permulaannya.” {QS. Al-An’am: 110.}
Dia berfirman,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” {QS. Ash-Shoff: 5.}
Dia berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskanNya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” {QS. At-Taubah: 115.}
Dan, ini banyak dalam Al-Quran.”
Pelajaran dari kisah perang tabuk, ketika Shahabat Ka’ab bin Malik rodhiyallaahu ‘anhu yang menunda ikut berangkat berperang di peperangan tabuk. Dikutip dari “Jaami’ As-Sirooh” Al-Imam Ibnu Qoyyim rohimahullaah, Penyusun; Yusri Sayyid Muhammad. Edisi terjemah: “Sejarah Hidup Nabi Muhammad & Para Shahabat”, hal. 273, Daar An-Naba’.

Perang widan

Perang Badar, Kisah Perang Para Malaikat Bulan Shafar, awal bulan ke 12 sejak Hijrahnya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam ke Madinah. Untuk pertama kalinya, Rasulullah keluar untuk berperang dalam kancah perang Widan. Inilah permulaan di syariatkannya sebuah peperangan dalam Islam. Perang tersebut bertujuan memerangi kaum Quraisy dan Bani Hamzah yang memusuhi dakwah Nabi. Persiapan kaum muslimin sudah cukup matang, namun peperangan urung digelar. Bani Hamzah menawarkan perdamaian. Rasulullah dan para sahabat pun kembali ke Madinah. Selang beberapa saat kemudian, Rasulullah mendengar berita tentang kedatangan kaum Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb, kafilah ini datang dari Syam menuju Makkah. Teringatlah kaum muslimin pada peristiwa beberapa saat sebelumnya. Ketika masih di Makkah, harta pengikut Rasulullah di rampas oleh orang-orang Quraisy. Itulah sebabnya Rasulullah segera meminta umat nya untuk mencegah iring-iringan kafilah tersebut. Barang bawaan mereka harus di rampas sebagai gantinya. Namun ajakan Rasulullah ini, masih di sambut dingin oleh sebagian kaum muslimin. Kebanyakan mereka berpikir, paling-paling akan bernasib seperti Perang Widan, alias peperangan tak bakal terjadi. Semangat Jihad Menyala Suatu malam di bulan Ramadhan, berangkatlah sekitar 314 umat Islam. Mereka mengendarai 70 ekor unta. Setiap unta ditunggangi secara bergantian oleh dua sampai tiga orang. Rasulullah langsung bertindak sebagai komandan perang.
Sayang, rencana penyergapan itu bocor. Telinga Abu Sufyan mendengarnya dan dia segera mengutus kurir bernama Dhamdham bin Amer Al-Ghiffari ke Makkah. Abu Sufyan meminta bantuan kaum Quraisy agar melindungi harta yang tengah di incar kaum muslimin. Pengaruh Abu Sufyan memang luar biasa. Seluruh kaum Quraisy serta merta berangkat ke Madinah, tak ada yang tertinggal. Tujuannya satu, yakni; perang. Jumlah konvoi pasukan itu sekitar 1000 personel. Iring-iringan kafilah Abu Sufyan sendiri justru meloloskan diri dengan menyusuri mata air Badar, terus ke pantai, lalu menuju Makkah. Berita itu terdengar sampai ke telinga Rasulullah. Jadi, rencana penghadangan tak jadi dilakukan. Rasulullah segera mengumpulkan para sahabatnya, kaum muhajirin. Dalam keadaan tak memiliki pilihan lain kecuali berperang untuk membela diri, Rasulullah masih sempat meminta dukungan kepada para sahabatnya.
Ternyata, meski jumlahnya sedikit, semangat kaum muhajirin untuk berjihad (berperang) menyala-nyala. Apalagi, perang memang sudah disyariatkan oleh Allah subhanahu wa Ta’ala melalui sabda Rasul -Nya. Sementara kaum Quraisy dibawah pimpinan Abu Jahal mulai berjalan kearah lembah Badar. Lembah ini memang sejak lama ingin di incar oleh Abu Jahal untuk diduduki. Sampailah mereka di salah satu sisi lembah. Di sisi yang berseberangan, Rasulullah tampak gagah memimpin pasukan siap tempur. Posisi mereka nyaris berhadap-hadapan di dekat mata air Badar. Salah seorang sahabat, Al-Habab bin Mundzir Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah dalam memilih tempat ini anda menerima wahyu dari Allah yang tidak dapat diubah lagi? Ataukah berdasarkan taktik peperangan?” , Rasulullah menjawab; “tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan taktik peperangan.” Al-Habab lalu mengusulkan, “Ya Rasulullah! Jika demikian, ini bukanlah tempat yang tepat. Ajaklah pasukan kita pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat kubu pertahanan disana dan menggali sumur-sumur di belakangnya. Kita membuat kubangan dan kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita akan berperang dalam keadaan persediaan air minum cukup, sedangkan musuh tidak akan memperoleh air minum.” Rasulullah menjawab, “pendapatmu cukup baik.” Pasukan muslimin segera bergerak ke tempat yang di usulkan oleh Al-Habab bin Mundzir.
Ketika tentara Quraisy dengan angkuhnya menuju lembah Badar, Rasulullah segera mengangkat tangannya ke langit dan berdoa, “Ya Rabbi, jika pasukan kecil ini sampai binasa, tidak akan ada lagi yang menyembah –Mu dengan hati yang Ikhlas.” Rasulullah terus memanjatkan doa dengan khusyuk seraya menengadahkan kedua telapak tangan ke langit. Abu Bakar Ash Shidiq ra yang melihat kesenduan di wajah Rasulullah berusaha menenangkan hati Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, demi diriku yang berada di tangan –Nya, bergembiralah! Sesungguhnya Allah pasti akan memenuhi janji yang telah diberikan kepadamu.” Janji Allah Tiga orang Quraisy maju ke lapangan terbuka, ruang yang memisahkan kaum muslimin dan kaum Quraisy. Inilah kebiasaan orang Arab saat pertempuran akan dimulai, duel satu lawan satu. Tiga sahabat Rasulullah, Hamzah, Ali Bin Abu Thalib, dengan pedang bercabang dua yang diberi nama Zulfikar, dan Abu Ubaidah, menerima tantangan itu. Pertarungan berlangsung seru. Alhamdulillah, Hamzah, Ali dan Abu Ubaidah memenangkan duel tersebut. Semangat kaum muslimin pun semakin membara. Sebaliknya, perasaan kaum Quraisy mulai digerogoti ketakutan. Pertarungan pun berubah menjadi pertarungan umum. Dan, apa yang terjadi? Janji Allah, seperti yang di ingatkan oleh Abu Bakar kepada Rasulullah, benar-benar terjadi.
“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala nya melihat (seakan-akan) kaum muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan –Nya siapa yang dikehendaki –Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang memiliki mata hati.” (QS. Ali Imran : 3)
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu menjadi orang yang bersyukur, (ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin, “Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit) ? ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran : 123-126)
Orang-orang Quraisy terpukul mundur. Mereka menderita kekalahan besar. Banyak dari pemimpin mereka yang tewas. Abu Jahal, salah satunya, jatuh sebagai korban kesombongannya yang tidak terkendali. Total ada 70 orang yang tewas dan 70 lainnya menjadi tawanan perang. Sedangkan dari pihak kaum muslimin ada 14 orang yang gugur sebagai Syuhada. Para tawanan diperlakukan secara baik oleh kaum muslimin. Kecuali dua orang, salah satunya bernama Nazr bin Harits – seperti tertulis dalam Al-Qur’an surat Al-Anfaal ayat 32. Keduanya di hukum mati karena kebencian nya yang sangat mendalam terhadap kaum muslimin. Atas perintah Rasulullah, para tawanan tak boleh disakiti. Bahkan, kaum muslimin membagi makanannya sendiri kepada para tawanan itu. Roti yang paling baik diberikan kepada kaum kafir, sedangkan kaum muslimin cukup hanya dengan menyantap buah kurma saja. Para tawanan naik kendaraan, sementara kaum muslimin hanya berjalan kaki. Mereka diperlakukan layaknya seorang raja.
(Agung Pribadi/Hidayatullah). Majalah Hidayatullah Edisi 03 / XVIII / Juli 2005 Jumadil Ula 1426 H,

Penaklukan Kota Mekah/Fath al-Makkah

Episode berikutnya dalam sejarah kemenangan kaum muslimin di bawah bimbingan kenabian yang terjadi di bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan Hijriyah. Dengan peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah ta’ala.

Sebab Terjadinya Fathu Makkah
Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar radliallahu ‘anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”
Abu Sufyan berkata,
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab,
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata,
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
“Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58)
Kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu
Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”
Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri,
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.”
Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.
Pasukan Islam Bergerak Menuju Makkah
Kemudian, beliau keluar Madinah bersama sepuluh ribu shahabat yang siap perang. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menerima taubat mereka dan masuk Islam.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda tentang Ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, “Saya berharap dia bisa menjadi pengganti Hamzah -radhiyallahu ‘anhu-“.
Setelah beliau sampai di suatu tempat yang bernama Marra Dhahraan, dekat dengan Makkah, beliau memerintahkan pasukan untuk membuat obor sejumlah pasukan. Beliau juga mengangkat Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai penjaga.
Malam itu, Abbas berangkat menuju Makkah dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) milik Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi peperangan di negeri Makkah. Tiba-tiba Abbas mendengar suara Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa’ yang sedang berbincang-bincang tentang api unggun yang besar tersebut.
“Ada apa dengan dirimu, wahai Abbas?” tanya Abu Sufyan
“Itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di tengah-tengah orang. Demi Allah, amat buruklah orang-orang Quraisy. Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, beliau akan memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal ini, agar aku dapat membawamu ke hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, lalu meminta jaminan keamanan kepada beliau!” jawab Abbas.
Maka, Abu Sufyan pun naik di belakangku. Kami pun menuju tempat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Ketika melewati obornya Umar bin Khattab, dia pun melihat Abu Sufyan. Dia berkata,
“Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji bagi Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian-pun. Karena khawatir, Abbas mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului Umar. Mereka pun langsung masuk ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Setelah itu, barulah Umar masuk sambil berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.”
Abbas pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas! Besok pagi, datanglah ke sini!”
Esok harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau bersabda,”Celaka wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah?”
Abu Sufyan mengatakan,
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,”Celaka kamu wahai Abu Sufyan, bukankah sudah saatnya kamu mengakui bahwa aku adalah utusan Allah?”
Abu Sufyan menjawab,”Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal hingga saat ini.”
Abbas menyela, “Celaka kau! Masuklah Islam! Bersaksilah laa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah sebelum beliau memenggal lehermu!”
Akhirnya Abu Sufyan-pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar.
Tanggal 17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah. Sebelum berangkat, beliau memerintahkan Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan tembus melewati gunung, berdiam di sana hingga semua pasukan Allah lewat di sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa melihat semua pasukan kaum muslimin. Maka Abbas dan Abu Sufyan melewati beberapa kabilah yang ikut gabung bersama pasukan kaum muslimin. Masing-masing kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu kabilah, Abu Sufyan selalu bertanya kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap kali dijawab oleh Abbas, Abu Sufyan senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada urusan dengan bani Fulan.”
Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?”
Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar.”
Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.”
Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.”
Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”
Ketika ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab,
“Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan agar bendera di tangan Sa’d diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa’d. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ beliau kepada Sang Pengatur alam semesta. Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau datang.
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman Allah:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
“Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah,
“Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang onta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah:
جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra': 81)
جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ
“Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (Qs. Saba': 49)
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan.
Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.”
Kemudian, beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah. Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.
Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda:
“لا إِله إِلاَّ الله وحدَّه لا شريكَ له، لَهُ المُلْكُ وله الحمدُ وهو على كَلِّ شَيْءٍ قديرٌ، صَدَقَ وَعْدَه ونَصرَ عَبْدَه وهَزمَ الأحزابَ وحْدَه
“Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”
Merekapun menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
Beliau bersabda,
“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
Pada hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam diizinkan Allah untuk berperang di Makkah hanya pada hari penaklukan kota Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar. Beliau tinggal di Makkah selama sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat dan tidak berpuasa Ramadhan di sisa hari bulan Ramadhan.
Sejak saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Demikianlah kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan Allah. Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar yang Allah berikan.

Sumber Artikel www.muslim.or.id

Sejarah perang hunain


Wahai pembaca, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyanjung para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa ayat Al-Qur`an dan menyatakan ridha terhadap mereka. Wahai pembaca, Nabi melarang para sahabat beliau dicela dan mengatakan bahwa andaikata kita menyedekahkan emas segunung Uhud, tidak apa-apanya dibanding sedekah mereka satu mud, bahkan setengah mudnya. Meskipun demikian, kita temukan kelompok Rafidhah yang membebaskan mulutnya untuk mencela para sahabat Nabi. Di antaranya, mereka mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar melarikan diri dari perang Uhud dan Hunain. Namun, kali ini kita akan membahas tuduhan mereka bahwa kedua sahabat Nabi ini melarikan diri saat perang Hunain.
Sesungguhnya tuduhan mereka itu adalah kebohongan yang terus diulang-ulang dari para pendahulu mereka hingga sekarang. Andaikata mereka tidak taklid begitu saja dan mau sejenak membaca sejarah, niscaya mereka tidak akan mengatakan seperti itu. Marilah kita baca rekaman sejarahnya yang diabadikan oleh para pakar sejarah Islam terpercaya.
Salah satunya, Ibnu Hisyam. Dia merekam kisah perang Hunain dalam Sirah Ibnu Hisyam (4/56-59). Di antaranya ia mengatakan,

“Kemudian beliau mengarah ke kanan, lalu bersabda, “Wahai manusia, mau ke mana? Kemarilah ke sini! Aku Rasulullah, aku Muhammad bin Abdillah!” Dia (Jabir bin Abdillah) mengatakan, “Maka keadaan kacau, unta-unta saling bertabrakan, dan orang-orang pergi kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beberapa orang dari kaum Muhajirin, kaum Anshar dan Ahlu Baitnya. Di antara kaum Muhajirin yang tetap bersama beliau adalah Abu Bakar dan Umar, dari Ahlul Baitnya Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdil Muthallib, Abu Sufyan bin Harts, putra Abu Sufyan bin Harts, Fadhl bin Abbas, Rabi’ah bin Harts, Usamah bin Zaid, Aiman bin Ummu Aiman bin Ubaid yang terbunuh ketika itu.”

Kisah ini juga dicatat Ibnu Katsir dalam Tarikh Ibnu Katsir (3/618), Thabari dalam Tarikh ath-Thabari (3/74), Ahmad dalam Musnad Ahmad (3/376) dan Baihaqi dalam Dalal`il an-Nubuwwah (5/120 dan 126).
Dalam riwayat tadi, kita mendapat kejelasan bahwa Abu Bakar dan Umar termasuk orang yang tetap bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kekacauan perang Hunain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan tuduhan kaum Rafidhah tadi.
Satu hal ini yang perlu ditekankan di sini, lari dari peperangan tidak serta merta divonis sebagai perbuatan yang terlarang. Allah subhanahu wata’ala membolehkan lari dari medang perang dalam rangka siasat perang atau bergabung dengan pasukan Islam yang lain. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ (15 وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (16)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (al-Anfal: 15-16)
Demikian jawaban singkat atas tuduhan bahwa Abu Bakar dan Umar lari dari medan perang Hunain. (M. Abidun Zuhri)

Sejarah Perang Mu’tah

  Sejarah  Perang Mu’tah

kisah-sejarah-perang-mu'tah
Daulahislam.com : Peperangan ini tercatat di dalam sejarah sebagai sebuah peperangan besar, di mana tentara Islam yang berjumlah 3.000 orang melawan 200.000 tentara Romawi Nasrani. Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya 12 orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pertempuran Mu’tah (bahasa Arab: معركة مؤتة , غزوة مؤتة) terjadi pada 629 M atau 5 Jumadil Awal 8 Hijriah), dekat kampung yang bernama Mu’tah, di sebelah timur Sungai Yordan dan Al Karak, antara pasukan Khulafaur Rasyidin yang dikirim oleh Nabi Muhammad dan tentara Kekaisaran Romawi Timur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendakwahi dan memerangi manusia hingga mereka mengikrarkan kalimat tauhid. Maka kemuliaan bagi yang mengikuti agamanya dan kehinaan bagi yang menyelisihinya.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwah dari kerabatnya yang terdekat dari kabilah Quraisy lalu bangsa Arab secara umum dan siapa saja yang dekat atau datang kepadanya dari berbagai penjuru, maka demikian pula beliau memerangi musuh pertama yang terdekat yaitu kafir Quraisy para penyembah berhala kemudian bagnsa Arab di sekitar Mekah dan Madinah dan lainnya lalu ahli kitab dari bangsa Yahudi di Madinah dan sekitarnya.
Dan sekarang tiba saatnya untuk memerangi bangsa Romawi yang beragama Nasrani dan nanti akan tiba gilirannya memerangi kaum Majusi para penyembah api dan seluruh umat kafir hingga agama Allah tinggi dan jaya di permukaan bumi, di atas semua agama sekalipun orang-orang kafir benci dengan kemenangan Islam. Inilah Islam dan inilah jihad yang merahmati umat manusia dan tidak membiarkan mereka berlarut-larut dalam laknat Allah dengan tetap dalam kekafiran, tetapi Islam mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik dan kufur kepada cahaya Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah takjub dengan orang-orang yang masuk surga dalam keadaan diikat rantai besi.” (HR. Bukhari). Maksudnya bahwa mereka tertawan oleh tentara Islam lalu diikat dengan rantai besi kemudian digiring ke negeri Islam dan akhirnya mereka masuk Islam sehingga berbahagia dengan surga.
Dan termasuk hikmah ilahiyyah tatkala orang-orang kafir dari berbagai bangsa tidak bersatu padu dalam satu waktu untuk menyerang kaum muslimin. Tatkala kafir Quraisy memerangi kaum muslimin, maka bangsa Arab lainnya diam menunggu hasil dari Quraisy. Ketika seluruh bangsa Arab dan Yahudi bersekutu memerangi kaum muslimin, maka umat Nasrani diam menunggu hasil peperangan tersebut. Demikian pula tatkala umat Islam berperang melawan Romawi, maka bangsa Persia Majusi diam menunggu hasil peperangan ini hingga semua bangsa dan semua agama ditundukkan oleh kaum muslimin. Firman Allah:
خَيْرًا وَكَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ
Dan Allah memelihara kaum muslimin dari peperangan.” (QS. Al Ahzab: 25)

Sebab Terjadinya Perang Mu’tah

Sebab terjadinya perang ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat melalui utusannya, Harits bin Umair radhiallahu ‘anhu kepada Raja Bushra. Tatkala utusan ini sampai di Mu’tah (Timur Yordania), ia dihadang dan dibunuh, padahal menurut adat yang berlaku pada saat itu –dan berlaku hingga sekarang- bahwa utusan tidak boleh dibunuh dan kapan saja membunuh utusan, maka berarti menyatakan pengumuman perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah akibat tindakan jahat ini, beliau mengirim pasukan perang pada Jumadil Awal tahun ke-8 Hijriah yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika Zaid mati syahid, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far mati syahid, maka Abdullah bin Rawahah penggantinya.”
Ini pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tiga panglima sekaligus karena beliau mengetahui kekuatan militer Romawi yang tak tertandingi pada waktu itu.

Tentara Allah Subhanahu wa Ta’ala Berangkat

Pasukan ini berangkat hingga tiba di Ma’an wilayah Syam dan sampai kepada mereka berita bahwa Raja Romawi bernama Heraklius telah tiba di Balqa bersama 100.000 tentara dan bergabung bersama mereka kabilah-kabilah Arab yang beragama Nasrani yang berjumlah 100.000 tentara sehingga total tentara musuh berjumlah 200.000 tentara. Setelah para sahabat bermusyawarah, sebagian mereka mengatakan, “Kita mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menambahkan kekuatan tentara atau memerintahkan kepada kita sesuatu.”
Lalu panglima mereka yang ketiga, Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu, menyemangati mereka seraya mengatakan, “Wahai kaum! Demi Allah, sesungguhnya apa yang kalian takutkan sungguh inilah yang kalian cari (yakni) mati syahid. Kita tidak memerangi manusia karena banyaknya bilangan dan kekuatan persenjataan, tetapi kita memerangi mereka karena agama Islam ini yang Allah muliakan kita dengannya. Bangkitlah kalian memerangi musuh karena sesungguhnya tidak lain bagi kita melainkan salah satu dari dua kebaikan, yaitu menang atau mati syahid.”
Maka sebagian mereka berkata, “Demi Allah, Ibnu Rawahah benar.” Lalu mereka berangkat sampai mereka tiba di Balqa tempat musuh berada.
Ini munjukka betapa besar keberanian para sahabat dalam jihad memerangi musuh-musuh Allah, semoga Allah melaknat Syi’ah yang mencela para sahabat.

Pertempuran

Tentara Islam dan tentara kufur saling berhadapan. Perlu kita ketahui, tentara di medan perang dibagi menjadi lima pasukan, yaitu: pasukan depan, belakang, kanan, kiri, dan tengah sebagai pasukan inti. Tentara musuh dengan jumlah yang sangat banyak mengharuskan seorang tentara dari sahabat melawan puluhan tentara musuh. Akan tetapi, tentara Allah yang memiliki kekuatan iman dan semangat jihad untuk meraih kemulian mati syahid tidak merasakannya sebagai beban berat bagi mereka sebab kekuatan mereka satu banding sepuluh –sebagaimana digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat,
Jika ada di antara kalian 20 orang yang bersabar maka akan mengalahkan 200 orang.” (QS. Al Anfal: 65)
Tentara Allah sebagai wali dan kekasih-Nya yang berperang untuk meninggikan agama-Nya, maka pasti Allah bersama mereka. Adapun orang-orang kafir sebanyak apapun bilangan dan kekuatan mereka, maka ibarat buih yang tidak berarti apa-apa.
Peperangan berkecamuk dengan dahsyat. Pusat perhatian musuh tertuju kepada pembawa bendera kaum muslimin dan keberanian para panglima Islam dalam maju memerangi musuh, hingga mati syahidlah panglima pertama, Zaid bin Haritsa radhiallahu ‘anhu. Lalu bendara perang diambil oleh panglima kedua, Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau berperang habis-habisan hingga tangan kannya terputus, lalu bendera dibawa dengan tangannya kirinya hingga terputus pula dan merangkul bendera dengan dadanya hingga terbunuh. Sebagai balasannya, Allah menggantikan kedua tangannya dengan dua sayap agar di surga ia dapat terbang ke mana saja. Setelah beliau syahid ditemukan pada tubuhnya terdapat 90 luka lebih antara tebasan pedang, tusukan panah atau tombak yang menunjukkan keberaniannya dalam menyerang musuh.
Kemudian bendera perang dibawa oleh panglima ketiga. Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu dan berperang hingga mati syahid menyusul kedua rekannya. Agar bendera perang tidak jatuh maka mereka mengangkatnya dan bersepakat untuk menyerahkannya kepada Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu, maka beliau membawa bendera perang.
Setelah peperangan yang luar biasa, keesokan harinya Khalid radhiallahu ‘anhu –dengan kecerdasan siasat baru dengan mengubah posisi pasukannya dari semula; yaitu pasukan depan ke belakang dan sebaliknya, pasukan kanan ke kiri dan sebaliknya, sehingga tampak bagi musuh bahwa kaum muslimin mendapat bantuan tentara yang baru dan menimbulkan rasa takut dalam hati mereka dan menjadi sebab kekalahan mereka.
Setelah berperang lama, Khalid radhiallahu ‘anhu menilai bahwa kekuatan musuh jauh tidak sebanding dengan kekuatan kaum muslimin. Maka beliau menarik mundur pasukannya dengan selamat hingga ke Madinah, sedang musuh tidak mengejar mereka karena khawatir kalau-kalau ini dilakukan oleh kaum muslimin sebagai siasat perang untuk mengajak Romawi menuju medan perang yang lebih terbuka di padang pasir –yang akan merugikan Romawi.
Dalam perang ini, Khalid radhiallahu ‘anhu berperang habis-habisan hingga sembilan pedang patah di tangannya. Ini menunjukkan betapa besarnya peperangan tersebut dan betapa besar perjuangan para sahabat demi Islam. Maka semoga Allah melaknat orang-orang Syi’ah yang tidak mengakui keutamaan para sahabat. Seandainya Syi’ah mencela seorang saja dari sahabat biasa, sungguh cukuplah sebagai kejelekan mereka, lalu bagaimana jika yang mereka cela adalah kebanyakan sahabat bahkan yang paling utama di antara mereka. Sungguh tidak ada kebaikan yang dilakukan oleh siapa pun kecuali para sahabat merupakan pendahulunya dan mendapat pahalanya.
Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya dua belas orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Adapun pasukan musuh tidak dapat dipastikan bilangan mereka yang terbunuh, tetapi diperkirakan sangat banyak. Hal ini dapat diketahui dari hebatnya peperangan yang terjadi.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berkisah Tentang Perang

Tampak mukjizat kenabian, tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada para sahabat di Madinah tentang kematian tiga panglimanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dalam keadaan sedih meneteskan air mata seraya berkata, “Bendera perang dibawa oleh Zaid lalu berperang hingga mati syahid, lalu bendera diambil oleh Ja’far dan berperang hingga mati syahid, lalu bendera perang dibawa oleh Siafullah (Pedang Allah –yakni Khalid bin Walid, pen.) hingga Allah memenangkan kaum muslimin.” Setelah itu, beliau mendatangi keluarga Ja’far dan menghibur mereka serta membuatkan makanan untuk mereka.

Pelajaran dari Kisah:

  1. Boleh mengangkat beberapa pemimpin dalam satu waktu dengan syarat tertentu dan memimpin secara berurutan.
  2. Kaum muslimin mengangkat Khalid sebagai panglima perang merupakan dalil bolehnya ijtihad di masa hidupnya Rasulullah.
  3. Keutamaan tiga panglima (Zaid, Ja’far, Abdullah bin Rawahah) dan keutamaan Khalid bin Walid sebab dalam peperangan ini Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya dengan Saifullah (Pedang Allah).
  4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih atas kematian tiga panglimanya, menunjukkan rahmatnya kepada umatnya dan bahwasanya beliau berusaha menentramkan jiwanya untuk bersabar terhadap musibah. Dan ini lebih baik daripada yang tidak sedih dan tidak tersentuh oleh musibah sama sekali.
  5. Hakikat hidup dan ‘izzah (kemuliaan) yang disingkap oleh Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya kemenangan bukanlah karena kekuatan dan jumlah secara materi, melainkan agama dan ketaatan kepada Allah. Lihat Sirah Nabawiyyah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad: 521-526 dan Sirah Nabawiyyah karya Dr. Akram: 2:267-270
Sumber: Majalah Al-Fuqon Edisi 6 Tahun Ke-11 1433 H/2012 M

Perang Khaibar

PERANG KHANDAQ

PERANG KHANDAQ


Perang Khandaq ini terjadi pada tahun 5H pada bulan syawal. Ini menurut pendapat yang lebih kuat. Orang-orang musyrik mengepung Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan orang-orang muslim selama sebulan penuh atau mendekati itu. Dengan mengompromosikan beberapa buku rujukan, dapat diambil kesimpulan bahwa prmulaan pengepungan pada bulan Syawal dan berakhir pada bulan Dzulqa'dah. Menurut riwayat Ibnu Sa'd, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam kembali dari Khandaq pada hari Rabu, seminggu sebelum habisnya bulan Dzulqa'dah. 

Latar Belakang Perang Khandaq
Setelah pecah beberapa peperangan dan manuver militer selama lebih dari satu tahun, Jazirah Arab menjadi tenteram kembali. Hanya saja orang-orang Yahudi yang harus menelan beberapa kehinaan dan pelecehan karena ulah mereka sendiri yang berkhianat, berkonspirasi dan melakukan makar, tidak mau terima begitu saja. Setelah lari ke Khaibar, mereka menunggu-nunggu apa yang akan menimpa orang-orang muslim sebagai akibat bentrokan fisik dengan para paganis Quraisy. Hari demi hari terus berlalu membawa keuntungan bagi kaum Muslimin, pamor dan kekuasaan mereka semakin mantap. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi semakin dibakar marah.

Mereka kembali merancang konspirasi baru terhadap orang-orang muslim dengan menghimpun pasukan, sebagai persiapan untuk memukul orang-orang muslim, agar tidak memiliki sisa kehidupan setelah itu. Karena belum berani menyerang orang-orang muslim secara langsung, maka mereka merancang dan melaksanakan langkah ini secara sembunyi-sembunyi dan hati-hati.

Ada dua puluh pemimpin dan pemuka Yahudi dari Bani Nadhir yang mendatangi Quraisy di Makkah. Mereka mendorong orang-orang Quraisy agar menyerang Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan berjanji akan membantu rencana ini dan mendukungnya. Quraisy menyambutnya dengan senang hati, apalagi sebelumnya mereka tidak berani memenuhi janji di Perang Badar untuk kedua kalinya. Maka mereka melihat ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengembalikan pamor.

Dua puluh orang pemuka Yahudi itu juga pergi ke Ghathafan dan mengajak mereka seperti ajakan yang diserukan kepada orang-orang Quraisy. Ajakan ini mendapat sambutan yang baik. Kemudian para utusan Yahudi itu berkeliling ke berbagai kabilah Arab dengan ajakan yang sama, dan semuanya memberi respon. Satu langkah yang dirancang orang-orang Yahudi dengan menghimpun orang-orang kafir untuk menyerang Rasulullah shallallahu'alahi wasallam dan membungkam dakwah Islam dapat berjalan mulus.

Akhirnya, secara serempak dari arah selatan mengalir pasukan yang terdiri dari Quraisy, Kinanah dan sekutu-sekutu mereka dari penduduk Tihamah, dibawah komando Abu Sufyan. Jumlah mereka ada empat ribu prajurit. Bani Sulaim dari Marr Azh-Zhahran juga ikut bergabung bersma mereka. Sedangkan dari arah timur ada kabilah-kabilah Ghathafan, yang terdiri dari Bani Fazarah yang dipimpin Uyainah bin Hishn, Bani Murah yang dipimpin Al-Harits bin Auf, Bani Asyja' yang dipimpin Mis'ar bih Rukhailah, Bani As'ad dan lain-lainnya.

Semua golongan ini bergerak ke arah Madinah secara serentak seperti yang telah mereka sepakati bersama. Dalam beberapa hari saja, disekitar Madinah sudah berhimpun pasukan musuh yang besar, jumlahnya mencapai sepuluh ribu prajurit. Itulah gelar pasukan yang jumlahnya lebih banyak daripada seluruh penduduk Madinah, termasuk wanita, anak-anak dan orang tua.

Rasulullah Mengadakan Musyawarah untuk Menyusun Strategi Menghadapi Musuh
Jika pasukan yang sedang berhimpun disekitar Madinah tersebut melakukan serangan secara tiba-tiba dan serentak, maka sulit dibayangkan apa yang akan terjadi dengan eksistensi kaum muslimin. Bahkan, bisa terjadi mereka akan tercabut hingga akar-akarnya. Tetapi model kepemimpinan Madinah tak pernah terpejam sekejap pun. Segala faktor dipertimbangkan sedemikian rupa secara masak dan segala pergerakan tak lepas dari pantauan. Sebelum pasukan musuk beranjak dari tempatnya, informasi tentang rencana mereka pun sudah tercium di Madinah.

Maka berdasarkan informasi ini, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam segera menyelenggarakan majelis tinggi permusyawaratan untuk menampung rencana pertahanan di Madinah. Setelah berdiskusi panjang lebar diantara anggota majelis, mereka sepakat melaksanakan usulan yang disampaikan seorang sahabat yang cerdik, Salman Al-Farisi. Dalam hal ini Salman berkata, "Wahai Rasulullah, dulu jika kami orang-orang Persi sedang dikepung musuh, maka kami membuat parit disekitar kami." Ini merupakan langkah yang amat bijaksana, yang sebelumnya tidak dikenal bangsa Arab. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam segera melaksanakan rencana itu. Setiap sepuluh orang laki-laki diberi tugas untuk menggali parit sepanjang empat puluh hasta.

Dengan giat dan penuh semangat orang-orang muslim menggali sebuah parit yang panjang. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam terus memompa semangat mereka dan terjun langsung di lapangan. Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan dari Sahl bin Sa'd, dia berkata, "Kami bersama Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam di dalam parit. Sementara orang-orang sedang giat menggalinya, kami mengusung tanah di pundak kami." Beliau bersabda, "Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat. Ampunilah dosa orang-orang Muhajirin dan Anshar."

Tanda-tanda Nubuwah
Anas meriwayatkan, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pergi ke parit pada pagi hari yang amat dingin, sementara orang-orang Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit. Mereka tidak mempunyai seseorang yang bisa diupah untuk pekerjaan ini. Beliau tahu perut mereka kosong dan juga letih. Oleh karena itu beliau bersabda, "Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan akhirat, maka ampunilah orang-orang Muhajirin dan Anshar." Mereka menjawab, "Kamilah yang telah berbaiat kepada Muhammad, siap berjihad selagi kami masih hidup."

Dari Al-Barr' bin Azib, dia berkata, "Kulihat beliau mengangkut tanah galian parit, hingga banyak debu yang menempel di kulit perut beliau yang banyak bulunya. Sampat pula kudengar beliau melantunkan syair-syairnya Ibnu Rawahah. Sambil mengangkut tanah, beliau bersabda, "Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak bersedekah dan tidak shalat. Turunkanlah ketentraman kepada kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sesungguhnya para kerabat banyak sewenang-wenang kepada kami. Jika mereka menghendaki cobaan, kami tidak menginginkannya."

Orang-orang muslim bekerja dengan giat dan penuh semangat sekalipun mereka didera dengan rasa lapar. Anas berkata, "Masing-masing orang yang sedang menggali parit diberi tepung gandum sebanyak satu genggam tangan, lalu dicampuri dengan minyak sebagai adonan. Kerongkongan mereka jarang tersentuh makanan, sehingga dari mulut mereka keluar bau yang tidak sedap." Abu Thalhah berkata, "Kami mengadukan rasa lapar kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Lalu kami mengganjal perut kami dengan batu. Beliau juga mengganjal perut dengan dua buah batu."

Selama penggalian parit ini terjadi beberapa tanda nubuwah yang berkaitan dengan rasa lapar yang mendera mereka. Jabir bin Abdullah melihat Rasulullah yang benar-benar tersiksa karena lapar. Lalu Jabir menyembelih seekor hewan dan istrinya menanak satu sha' tepung gandum. Setelah masak, Jabir membisiki Rasulullah secara pelan-pelan agar datang ke rumahnya bersama beberapa sahabat saja. Tetapi Rasulullah justru berdiri di hadapan semua orang yang sedang menggali parit yang jumlahnya ada seribu orang, lalu mereka melahap makanan yang tak seberapa banyak itu hingga mereka kenyang. Bahkan masih ada sisa dagingnya, begitu pula adonan tepung untuk roti.

Saudara perempuan An-Nu'man bin Basyir datang ke tampat penggalian parit sambil membawa kurma setangkup tangan untuk diberikan kepada ayah dan pamannya. Ketika itu pula Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam lewat didekatnya dan meminta kurma tersebut, lalu beliau meletakkannya di atas selembar kain. Setelah itu beliau memanggil semua orang dan mereka pun memakannya. Setelah semua orang yang menggali parit memakannya, ternyata kurma yang hanya setangkup tangan itu masih tersisa dan bahkan jumlahnya lebih banyak, sehingga sebagian ada yang tercecer keluar dari hamparan kain.

Yang lebih besar dari gambaran ini adalah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dari Jabir, dia berkata, "Saat kami menggali parit, ada sebongkah tanah yang amat keras. Mereka mendatangi Rasulullah seraya berkata, "Ini ada tanah keras yang teronggok di tengah parit."
"Kalau begitu aku akan turun ke bawah," sabda beliau.
Setelah turun, beliau berdiri tegak dan terlihat perut beliau yang diganjal batu. Sebelumnya kami bertiga sudah mencoba untuk mengatasinya, namun tidak mampu. Lalu beliau mengambil cangkul dan memukul onggokan tanah yang keras itu hingga hancur berkeping-keping menjadi pasir."

Al-Barra' berkata, "Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tidak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Beliau datang, mengambil cangkul dan bersabda, "Bismillah..." Kemudian menghantam tanah yang keras itu dengan sekali hantaman. Beliau bersabda, "Allah Mahabesar, aku diberi tanah Persi. Demi Allah saat ini pun aku bisa melihat Istana Mada'in yang bercat putih." Kemudian beliau menghantam untuk ketiga kalinya, dan bersabda, "Bismillah.." Maka hancurlah tanah yang masih tersisa. Kemudian beliau bersabda, "Allah Mahabesar, aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah dari tempatku ini aku bisa melihat pintu-pintu gerbang Shan'a."
Ibnu Ishaq juga meriwayatkan yang serupa dengan ini dari Salman Al-Farisi radhiallahu'anhu.

Orang-orang muslim terus menggali parit tanpa henti sepanjang siang, baru sore harinya mereka pulang ke rumah menemui keluarga hingga penggalian parit selesai seperti rencana semula sebelum pasukan paganis yang tidak terkira banyaknya tiba di pinggiran Madinah.

Perang Terjadi
Pasukan Quraisy yang berkekuatan 4000 personil tiba di Mujtama'ul Asyal di kawasan Rumat, tepatnya antara Juruf dan Za'abah. Sedangkan Kabilah Ghathafan dan penduduk Najd yang kekuatan 6000 personil itu tiba di Dzanab di dekat Uhud. Firman Allah,

وَلَمَّا رَءَا الْمُؤْمِتُوتَ الأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا الله وَ رَسُولَهُ وَصَدَقَ الله وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُم إِلآَّ إِيمَتَا وَتَسْلِيمًا

"Dan, tatkala orang-orang Mukmin melihat golongan-golongan yang bersektutu itu, mereka berkata, 'Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya'. Dan, yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.'" (Al-Ahzab:22)

Tetapi orang-orang munafik dan orang-orang yang jiwanya lemah, langsung menggigil ketakukan saat melihat pasukan yang besar ini. Firman Allah,

وَإِذَ يَقُولُ الْمُنَفِقُونَ وَالَّذِينَ فى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ مَّا وَعَدَنَا الله وَ رَسُولُهُ إِلاَّ غُرُورًا
"Dan ingatlah, ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, 'Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.'" (Al-Ahzab:2)
Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam keluar rumah dengan kekuatan 3000 personil. Dibelakang punggung mereka ada Gunung Sal'un dan dapat dijadikan pelindung. Sedangkan parit membatasi posisi mereka dengan pasukan musuh. Madinah diwakilkan kepada Ibnu Ummi Maktum. Para wanita dan anak-anak ditempatkan dirumah khusus sebagai perlindungan bagi mereka.
Pada saat orang-orang musyrik hendak melancarkan serbuan ke arah orang-orang mukmin dan menyerang Madinah. ternyata mereka harus berhadapan dengan parit. Karena itu mereke memutuskan untuk mengepung orang-orang muslim. Padahal tatkala keluar dari rumah, mereka tidak siap untuk melakukan pengepungan. Menurut mereka, penggalian parit ini sebagai siasat perang yang sama sekali tidak dikenal masyarakat Arab. Oleh karena itu mereka juga tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Orang-orang musyrik hanya bisa berputar-putar didekat parit dengan amarah yang menggelegar. Mereka terus mencari-cari titik lemah yang bisa dimanfaatkan. Sementara orang-orang muslim terus-menerus mengawasi gerakan orang-orang musyrik yang berputar-putar diseberang parit dan juga melontarkan anak panah agar mereka tidak sampai mendekati parit apalagi melewatinya ataupun menimbunnya dengan tanah lalu menjadikannya sebagai jalur penyeberangan.
Para penunggang kuda dari pasukan Quraisy merasa jengkel karena hanya bisa diam disekitar parit tanpa ada kejelasan bagaimana kelanjutan dari pengepungan ini. Cara seperti ini sama sekali bukan kebiasaan mereka. Lalu muncul sekelompok orang diantara mereka, seperti Amr bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abi Jahl, Dhirar bin Al-Khattab dan lain-lainnya yang mendapatkan lubang parit yang lebih sempit. Mereka terjun melewati bagian parit itu, lalu memutar kuda mereka ke arah bagian yang lebih lembab, antara parit dan Gunung Sal'un. Ali bin Abi Thalib bersama beberapa orang Muslim langsung mengepung daerah yang dapat dilewati beberapa orang musyrik itu. Amr bin Abi Wudd menantang untuk adu tanding, satu lawan satu. Tantangan ini diladeni Ali bin Abi Thalib, dan Ali juga melontarkan perkataan yang membuat Amr sangat marah. Amr yang termasuk salah seorang prajurit musyrikin yang pemberani dan pahlawan mereka, turun dari kuda sambil mengumpat kudanya sendiri dan menempeleng mukanya. Kemudian dia siap berhadapan dengan Ali bin Abi Thalib. Keduanya berputar-putar lalu bertanding dengan seru, hingga Ali dapat membunuhnya. Sementara yang lain juga merasa terdesak lalu mereka terjun ke parit dan melarikan diri. Mereka benar-benar ketakutan, sampai-sampai Ikrimah bin Abi jahl meninggalkan tombaknya.
Beberapa hari sudah berlalu dan orang-orang musyrik terus berusaha untuk melewati parit atau membuat jalur penyeberangan. Tetapi orang-orang muslim tidak berhenti melakukan perlawanan dan menyerang mereka dengan anak panah, sehingga mereka gagal memuluskan usaha ini.
Karena terlalu sibuk melakukan serangan balik terhadap orang-orang musyrik yang berusaha menyeberang parit. akibatnya ada beberapa shalat yang tak sempat dikerjakan Rasulullah dan orang-orang muslim. Didalam Ashahihain disebutkan dari Jabir, bahwa Umar bin Khattab muncul pada waktu Perang Khandaq, lalu dia terus-menerus mengolok-olok orang-orang kafir Quraisy. Lalu dia berkata: "Wahai Rasulullah, hampir saja aku lupa mengerjakan shalat (ashar), padahal matahari hampir tenggelam."
"Aku pun belum sempat mengerjakannya," sabda beliau.
Lalu kami turun membawa alat pembuat tepung. Beliau wudhu' dan kami pun wudhu'. Beliau shalat ashar setelah matahari tenggelam, setelah itu langsung disusul dengan shalat maghrib.
Nabi shallallahu'alaihi wasallam merasa menyesal karena beberapa shalat yang tertinggal. Sampai-sampai beliau mendo'akan kemalangan bagi orang-orang musyrik. Karena gara-gara merekalah shalat beliau tidak sempat dilaksanakan. Didalam riwayat Al-Bukhari, dari Ali dari Nabi shallallahu'alaihi wasallam, beliau bersabda pada waktu Perang Khandaq, "Allah memenuhi rumah-dan kuburan mereka dengan api, sebagaimana mereka telah membuat kita sibuk dan tidak sempat melaksanakan shalat ashar hingga matahari terbenam."
Didalam Musnad Ahmad dan Asy-Syafi'i disebutkan bahwa orang-orang musyrik itu membuat mereka sibuk hingga tak sempat melaksanakan shalat zhuhur, ashar, maghrib dan isya'. Lalu Rasulullah mengerjakan shalat secara sekaligus. An-Nawawi menuturkan, "Cara mengompromikan beberapa riwayat ini, bahwa Perang Khandaq berjalan selama beberapa hari. Memang pada sebagian hari ada acara menjama' shalat seperti yang pertama dan sebagian hari yang lain ada cara menjama' yang kedua."
Dari sini dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan oleh orang-orang musyrik untuk menyeberangi parit dan serangan orang-orang Muslim berjalan hingga beberapa hari. Karena ada parit yang menghalangi kedua pasukan, maka tidak sampai terjadi pertempuran dan adu senjata secara langsung. Peperangan terbatas hanya dengan melepaskan anak panah. Sekalipun begitu, ada beberapa orang dari masing-masing pihak menjadi korban, yaitu enam orang dari Muslimin dan sepuluh orang dari musyrikin. Disamping itu ada satu dua orang yang terbunuh karena terkena tebasan perang.
Dalam usaha melakukan serangan dengan melepaskan anak panah itu, Sa'd bin Mu'az ra juga terkena hujaman anak panah hingga memutuskan urat di lengannya. Yang melepaskan anak panah hingga mengenainya adalah seorang laki-laki dari Quraisy yang bernama Hibban bin Qais bin Al-Ariqah. Saat itu pula Sa'd memanjatkan do'a, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa tak ada yang lebih kucintai daripada aku berjihad karena-Mu, melawan orang-orang yang mendustakan Rasul-Mu dan yang telah mengusirnya. Ya Allah, aku mengira Engkau telah menghentikan peperangan antara kami dengan mereka. Jika memang Engkau masih menyisakan sedikit peperangan melawan orang-orang Quraisy, maka berikanlah sisa kehidupan kepadaku untuk menghadapi mereka agar aku bisa memerangi mereka karena Engkau. Jika memang Engkau sudah menghentikan peperangan, maka kobarkanlah lagi peperangan itu agar aku bisa mati dalam peperangan." Pada akhir do'anya, dia berkata, "Janganlah Engkau mematikan aku hingga aku merasa senang setelah memerangi Bani Quraizhah."
Pengkhianatan Yahudi Bani Quraizhah
Pada saat orang-orang Muslim menghadapi situasi perang yang amat keras ini, ular-ular berbisa yang biasa melakukan konspirasi dan berkhianat sedang menggeliat didalam lubangnya, bersiap menyemburkan bisanya ke tubuh orang-orang Muslim. Tokoh penjahat Bani Nadhir (Huyai bin Akhthab) datang ke perkampungan Bani Quraizhah. Dia menemui Ka'b bin Asad Al-Qurazi, pemimpin Bani Quraizhah, sekutu dan rekannya. Padahal dia sudah membuat perjanjian dengan Rasulullah untuk tidak menolong siapa pun yang hendak memerangi belaiu. Huyai menggedor pintu benteng Ka'b, tetapi Ka'b tidak mau membukakan pintu. Setelah Huyai mendesak terus menerus, pintu pun dibukakan.
Huyai berkata, "Aku menemuimu wahai Ka'b dengan membawa kejayaan masa lalu dan lautan yang mempesona. Aku datang kepadamu bersama Quraisy, pemimpin dan pemuka mereka, hingga aku menyuruh mereka bermarkas di Majma'ul Asyal di bilangan Rumat. Sedangkan Ghathafan dengan semua pemimpinnya kusuruh bermarkas di Dzanab Naqami dekat Uhud. Mereka semua sudah berjanji dan bersumpah kepadaku untuk tidak pulang sebelum membinasakan Muhammad dan para pengikutnya."
Ka'b menjawab," Demi Allah, engkau datang kepadaku sambil membawa kebinasaan masa lalu dan awan yang kering. Awan itu mengeluarkan klat dan suara petir, tetapi kosong melompong. Celaka kamu wahai Huyai! Tinggalkan aku dan urusanku! Aku tidak melihat diri Muhammad melainkan sosok yang jujur dan menepati janji."
Huyai terus menerus membujuk dan merayu Ka'b, hingga akhirnya Huyai bersumpah atas nama Allah dan berjanji, "Jika orang-orang Quraisy dan Ghathafan mundur, mereka tidak jadi menyerang Muhammad, maka aku akan bergabung denganmu didalam bentengmu, dan aku siap menanggung akibatnya bersamamu." Jadilah Ka'b bin As'ad melanggar perjanjian yang telah disepakatinya. Dia sudah melepaskan ikatan dengan orang-orang Muslim. Dia bergabung dengan orang-orang musyrik untuk memerangi orang-orang Muslim.
Ketika itu pula orang-orang Yahudi bangkit untuk memerangi orang-orang Muslim. Ibnu Ishaq menuturkan, "Shafiyah binti Abdul Muthalib berada dalam satu bilik benteng yang dikhususkan bagi para wanita Muslimah dan anak-anak, yang dijaga Hassan bin Tsabit. Shafiyah berkata menuturkan kejadian waktu itu, "Ada seorang laki-laki Yahudi melewati tampat kami, lalu mengelilingi benteng. Sementara semua Yahudi Bani Quraizhah maju untuk berperang dan melanggar perjanjian yang sudah disepakati dengan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Tidak ada orang-orang Muslim yang menjaga kami, karena Rasulullah dan semua orang-orang Muslim sedang berhadapan dengan musuh. Tidak mungkin mereka mundur ketempat kami dan meninggalkan pos mereka jika ada orang yang menyerang kami. Kukatakan kepada Hassan, "Wahai Hassan, seperti yang engkau lihat, orang Yahudi ini mengitari benteng. Demi Allah, aku merasa tidak aman jika dia menunjukkan titik kelemahan kita dari arah belakang ini kepada orang-orang Yahudi. Sementara Rasulullah dan para sahabat tidak sempat lagi mengurus kita. Maka hampirilah orang itu dan bunuh dia."
"Demi Allah, engkau tahu sendiri aku bukanlah orang yang mahir dalam masalah bunuh-membunuh," jawab Hassan.
Syafiyah berkata, "Lalu kuikat pinggangku dan kuambil sepotong tiang penyangga, lalu aku turun dari benteng untuk menghampiri orang Yahudi itu. Potongan tiang itu kupukulkan ke tubuhnya hingga mati. Setelah itu aku kembali lagi ke benteng. Kukatakan kepada Hassan, "Wahai Hassan, turunlah dari benteng dan ikatlah dia. Kalau bukan karena dia seorang laki-laki tentu sudah kuikat sendiri."
Hassan bin Tsabit berkata, "Kurasa aku tak perlu lagi mengikatnya."
Tindakan yang berani dari bibi Rasulullah ini mempunyai pengaruh yang amat mendalam untuk menjaga para wanita dan anak-anak Muslimin. Sebab selama itu orang-orang Yahudi menduga rumah penampungan dan benteng bagi para wanita dan anak-anak dijaga ketat pasukan Muslimin. Padahal nyatanya sama sekali tidak terjaga. Karena dugaan itu mereka tidak berani melakukan serangan ke benteng itu. Mereka juga tidak berani terang-terangan melakukan serangan terhadap orang-orang Muslim. Mereka hanya mengulurkan bantuan kepada pasukan kafir dengan memasok bahan makanan. Tetapi pasokan itu juga bisa diambil orang-orang Muslim, sebanyak dua puluh onta.
Kabar tentang tindakan orang-orang Yahudi didengar oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan orang-orang Muslim. Maka seketika itu pula beliau ingin mengecek kebenarannya. Untuk itu beliau meminta keterangan langusng dari Bani Quraizhah, agar dapat segera diambil tindakan secara militer. Beliau mengutus Sa'd bin Mu'adz, Sa'd bin Ubadah, Abdullah bin Ruwahah dan Khawwat bin Jubair. Beliau bersabda kepada para utusan ini, "Pergilah kesana dan cari tahu apakah benar kabar yang kita dengar dari mereka ini ataukah tidak? Jika kabar itu benar, beritahukan kepadaku hanya dengan melalui isyarat saja, agar tidak mematahkan semangat orang-orang. Jika mereka masih menepati janjinya, bolehlah kalian memberitahukan kepada orang-orang."
Setiba disana para utusan itu mendapatkan keadaan yang sangat jauh lebih jahat dari gambaran semula. Orang-orang Yahudi itu secara terang-terangan mencemooh dan memperlihatkan permusuhan, bahkan mereka juga mengejek Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. "Siapa itu Rasul Allah? Tidak ada perjanjian antara kami dan Muhammad dan juga tidak ada ikatan apa-apa," kata mereka. Para utusan itu pulang, lalu mengisyaratkan keadaan mereka kepada Rasulullah dengan berkata, "Adhal dan Qarah." Artinya orang-orang Yahudi itu seperti Bani Adhal dan Qarah yang melanggar perjanjian. Sekalipun para utusan itu sudah berusaha menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya, toh sebagian Muslimin ada yang menangkapnya sehingga mereka merasa bahwa keadaan benar-benar amat gawat.
Itu merupakan situasi yang sangat rawan yang pernah dihadapi kaum Muslimin. Antara posisi mereka dan posisi Yahudi Bani Quraizhah tidak ada penghalang sedikit pun andaikan mereka memukul dari belakang. Sementara dihadapan mereka ada segelar pasukan musuh yang tidak mungkin ditinggalkan. Sementara tempat penampungan para wanita dan anak-anak tidak jauh dari posisi Bani Quraizhah yang berkhianat. Apalagi tempat itu tanpa pasukan yang menjaga. Keadaan mereka telah digambarkan Allah dalam firman-Nya,
"Yaitu ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari bawah, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai tenggorokan dan kalian menyangka terhadap Allah dengan bermancam-macam prasangka. Di situlah diuji orang-orang Mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang dahsyat." (Al-Ahzab:10-11)
Kemunafikan orang-orang munafik juga mulai muncul ke permukaan. Sebagian diantara mereka ada yang berkata, "Kemarin Muhammad berjanji kepada kami bahwa kami akan mengambil harta simpanan Kisra dan Qaishar. Sementara pada hari ini tak seorang pun diantara kami yang merasa aman terhadap dirinya, sekalipun hanya untuk buang hajat." Yang lain lagi ada yang berkata kepada sekumpulan kaumnya, "Rumah kami akan menjadi sasaran musuh. Maka izinkan kami untuk pergi dari sini dan pulang ke rumah kami. Karena rumah kami berada di luar Madinah."
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman tentang mereka ini,
"Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, 'Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya'. Dan, sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, 'Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga). Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari." (Al-Ahzab:12-13)
Setelah mendengar pengkhianatan Bani Quraizhah, Rasulullah menggelar kainnya lalu tidur telentang, diam sekian lama, hingga kaum Muslimin mendapat ujian yang cukup berat. Namun tak lama kemudian membersit harapan. Beliau bangkit sambil berseru, "Allahu Akbar, Bergembiralah wahai orang-orang Muslim dengan kemenangan dan pertolongan Allah." 
Kemudian beliau merancang beberapa strategi untuk menghadapi situasi yang sangat rawan ini. Salah satu strategi yang beliau canangkan ialah dengan mengutus beberapa penjaga ke Madinah untuk menjaga para wanita dan anak-anak. Tetapi sebelumnya harus ada upaya untuk mengacaukan pasukan musuh. Untuk memuluskan rencana ini, beliau hendak membuat perjanjian dengan Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin Auf, dua pemimpin Ghathafan, bahwa beliau akan menyerahkan sepertiga hasil panen kurma di Madinah kepada mereka, asal mereka berdua mau mengundurkan diri dari kancah bersama kaumnya, lalu membiarkan beliau menghantam Quraisy dan menghancurkan kekuatan mereka. Terjadi tawar menawar yang cukup alot. Lalu beliau meminta pendapat Sa'd bin Mu'adz dan Sa'd bin Ubaidah tentang rencana ini.
Keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, jika Allah memerintahkan engkau untuk mengambil keputusan seperti itu, maka kami akan tunduk dan patuh. Tetapi jika ini merupakan keputusan yang hendak engkau ambil bagi kami, maka kami tidak membutuhkannya. Dulu kami dan mereka adalah orang-orang yang sama menyekutukan Allah dan menyembah berhala. Dulu mereka tidak berhasrat memakan sebuah kurma pun dari Madinah kecuali lewat jual beli atau bila sedang dijamu. Setelah Allah memuliakan kami dengan Islam dan memberi petunjuk Islam serta menjadi jaya bersama engkau, mengapa kami harus memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang."
Rasulullah membenarkan pendapat mereka berdua, dan bersabda, "Ini adalah pendapatku sendiri. Sebab aku melihat semua orang Arab sedang menyerang kalian dengan satu busur."
Kemudian Allah membuat satu keputusan dari sisi-Nya yang mampu menghinakan musuh, mengacaukan semua barisan mereka serta menceraiberaikan persatuan mereka. Diantara langkah permulaannya, ada seseorang dari Ghathafan yang bernama Nu'aim bin Mas'ud bin Amir Al-Asyja'i yang menemui Rasulullah seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah masuk Islam. Sementara kaumku tidak mengetahui tentang keislamanku ini. Maka perintahkanlah kepadaku apapun yang engkau kehendaki."
"Engkau adalah orang satu-satunya," sabda beliau, "berilah pertolongan kepada kami menurut kesanggupanmu karena peperangan ini adalah tipu muslihat." 
Seketika itu pula Nu'aim pergi menemui Bani Quraizhah, yang menjadi temah karibnya semasa Jahiliyah. Dia menemui mereka dan berkata, "Kalian sudah tahu cintaku kepada kalian, khususnya antara diriku dan kalian."
"Engkau benar," kata mereka.
Nu'aim berkata, "Orang-orang Quraisy tidak bisa disamakan dengan kalian. Negeri ini adalah negeri milik kalian. Disini ada harta benda, anak-anak dan istri-istri kalian. Kalian tidak akan sanggup meninggalkan negeri ini untuk pindah ketempat lain. Sementara Quraisy dan Ghathafan datang kesini untuk memerangi Muhammad dan rekan-rekannya. Lalu kalian menampakkan dukungan kepada mereka. Padahal negeri, harta dan wanita-wanita mereka berada ditempat lain. Jika mereka merasa mendapat kesempatan, tentu kesempatan itu akan mereka pergunakan sebaik-baiknya. Jika tidak, mereka pun akan kembali ke negeri mereka dan meninggalkan kalian bersama Muhammad yang akan melampiaskan dendam kepada kalian."
"Lalu bagaimana baiknya wahai Nu'aim?" Tanya mereka.
"Kalian tidak perlu berperang bersama mereka kecuali setelah mereka memberikan jaminan kepada kalian," jawab Nu'aim.
"Engkau telah memberikan jawaban yang sangat tepat," jawab mereka.
Setelah itu Nu'aim langsung menemui Quraisy dan berkata kepada mereka, "Kalian sudah tahu cintaku kepada kalian dan nasihat-nasihat yang pernah kusampaikan."
"Begitulah," jawab mereka.
Dia berkata lagi, "Rupa-rupanya orang Yahudi merasa menyesal karena telah melanggar perjanjian dengan Muhammad dan rekan-rekannya. Secara diam-diam mereka telah mengirim utusan untuk menemui Muhammad bahwa mereka hendak meminta jaminan kepada kalian. Lalu jaminan itu akan mereka serahkan kepada Muhammad, yang tentu saja mereka berpaling dari kalian. Jika mereka meminta jaminan, kalian tidak perlu memberikannya kepada mereka."
Kemudian Nu'aim menemui orang-orang Ghathafan dan berkata seperti pula kepada mereka.
Tepatnya malam Sabtu, bulah Syawal 5H, orang-orang Quraisy mengirimkan utusan untuk menemui orang-orang Yahudi, menyampaikan pesan, "Kami tidak mungkin berlama-lama disini. Apabila kondisi unta dan kuda kami sudah banyak merosot. Maka bangkitlah saat ini pula bersama kami untuk menghabisi Muhammad." Orang-orang Yahudi mengirim utusan kepada orang-orang Quraisy seraya menyampaikan pesan, "Hari ini adalah hari Sabtu. Kalian sudah tahu akibat yang manimpa orang-orang sebelum kami karena mereka berperang pada hari ini. Disamping itu, kami tidak mau berperang bersama kalian kecuali setelah kalian menyampaikan jaminan kepada kami."
Setelah tahu apa yang disampaikan utusan Yahudi, orang-orang Quraisy dan Ghathafan berkata, "Demi Allah, benar apa yang dikatakan Nu'aim kepada kalian." Lalu mereka mengirimkan utusan lagi kepada orang-orang Yahudi, menyampaikan pesan, "Demi Allah, kami tidak akan mengirim seorang pun kepada kalian. Bergabunglah bersama kami untuk menghabisi Muhammad." Orang Quraizhah berkata, "Demi Allah, benar apa yang dikatakan Nu'iam kepada kalian." Dengan begitu Nu'aim mampu memperdayai kedua belah pihak dan menciptakan perpecahan di barisan musuh, sehingga semangat mereka menjadi turun drastis.
Sementara kaum Muslimin selalu berdo'a kepada Allah, "Ya Allah tutupilah kelemahan kami dan amankanlah kegundahan kami." Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam juga berdo'a untuk kemalangan musuh, "Ya Allah yang menurunkan Al-Kitab dan yang cepat hisabnya, kalahkanlah pasukan musuh. Ya Allah, kalahkanlah dan guncangkanlah mereka."
Allah Subhanahu Wa Ta'ala mendengar do'a Rasulnya dan orang-orang Muslim. Setelah muncul perpecahan dibarisan orang-orang musyrik dan mereka bisa diperdayai, Allah mengirimkan pasukan berupa angin taufan kepada mereka, sehingga kemah-kemah mereka porak poranda. Tidak ada sesuatu yang tegak melainkan pasti ambruk, tidak ada yang menancap melainkan pasti tercabut dan  tidak ada sesuatu pun yang bisa berdiri tegar ditempatnya. Allah juga mengirim pasukan yang terdiri dari para malaikat yang membuat mereka menjadi gentar dan kacau menyusupkan ketakukan kedalam hati mereka.
Pada malam yang dingin dan menusuk tulang itu, Rasulullah mengutus Khudzaifah bin Al-Yaman untuk menemui orang-orang Quraisy dan kembali lagi membawa kabar tentang keadan mereka yang seperti itu. Bahkan mereka sudah bersiap-siap untuk kembali ke Makkah. Khudzaifah bin Al-Yaman menemui beliau dan mengabarkan niat mereka untuk kembali ke Makkah. Pada keesokan harinya beliau mendapatkan musuh sudah diusir Allah dan hengkang dari tempatnya, tanpa membawa keuntungan apa-apa. Cukuplah Allah yang memerangi mereka, memenuhi janjinya, memuliakan pasukan-Nya, menolong hamban-Nya dan hanya menimpakan kekalahan kepada pasukan musuh. Setelah itu Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan pasukan Muslim kembali ke Madinah.
Perang Khandaq atau Ahzab bukan merupakan peperangan yang menimbulkan kerugian, tetapi merupakan perang urat syaraf. Disini tidak ada pertempuran yang seru. Tetapi dalam catatan sejarah Islam, ini merupakan peperangan yang sangat menegangkan, yang berakhir dengan pelecehan di pihak pasukan musyrikin dan memberi kesan bahwa kekuatan sebesar apapun yang ada di Arab tidak akan sanggup melumatkan kekuatan lebih kecil yang sedang mekar di Madinah. Sebab bangsa Arab tidak sanggup menghimpun kekuatan yang lebih besar daripada pasukan Ahzab ini. Oleh karena itu Rasulullah bersabda, tatkala Allah Subhanahu Wa Ta'ala sudah mengalahkan pasukan musuh, "Sekarang kitalah yang ganti menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kita. Kitalah yang akan mendatangi mereka."
Sumber: Buku Sirah Nabawiyah, karangan: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri,