Ada tiga orang yang
mereka diuji keimanannya oleh Allah ketika ada seruan jihad pada perang
tabuk. Salah satunya adalah Ka’ab bin Malik rodhiyallaahu ‘anhu, beliau
adalah yang termuda di antara dua Shahabat yang lain. Pada saat seruan
untuk berjihad, Ka’ab bin Malik saat itu merasa bahwa dia sangatlah pada
kondisi paling kuat, dan tidak memiliki udzur untuk tidak ikut
berperang, bahkan kendaraan untuk berperang sudah dia siapkan. Namun,
Ka’ab menunda-nunda keberangkatannya, yang akhirnya dia tidak berangkat
berjihad sama sekali.
Kemudian sepulangnya Rosulullaah
shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam dari tabuk, maka
menghadaplah orang-orang yang tidak ikut berperang. Ketika itu
orang-orang munafiq mengemukakan alasan-alasan dusta agar mereka
selamat. Namun apa yang dilakukan oleh Ka’ab adalah jujur, Ka’ab
mengatakan bahwa yang dia lakukan itu tidaklah memiliki udzur dan Ka’ab
mengharapkan ampunan dari Allah dan tidak berdusta terhadap Allah dan
RosulNya.
Ternyata Allah menunda memberikan
keterangan bahwa taubatnya diterima, agar semua itu menjadi pelajaran
berharga dan semua itu penuh dengan hikmah. Ka’ab bersama dua Shahabat
yang lain mengalami pemboikotan oleh manusia selama 50 malam.
Sampai-sampai mereka bertiga merasa dunia ini sempit dan merasa
diasingkan. Namun setelah itu akhirnya Allah memberitahukan kepada Nabi
shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam bahwa taubatnya Ka’ab
diterima.
Sungguh terdapat faedah-faedah dari
penggalan kisah ini. Di antaranya yang disebutkan Al-Imam Ibnul Qoyyim
rohimahullaah dalam “Jaami’ As-Siroh”;
“Jika seseorang memiliki peluang untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan melaksanakan ketaatan kepadaNya, maka
ia harus membulatkan tekad untuk melakukannya, bersegera kepadanya, dan
tidak mengulur-ulurnya. Terutama jika ia tidak yakin dengan kemampuannya
dan memiliki faktor-faktor untuk meraihnya. Sebab, tekad dan kemampuan
itu cepat lenyap, jarang sekali menetap. Allah akan menghukum siapa saja
yang telah Dia bukakan untuknya pintu kebajikan lalu ia tidak segera
melakukannya, dengan menghalangi antara hatinya dengan kehendaknya.
Akibatnya, ia tidak bisa melakukannya setelah meniatkannya sebagai
bentuk hukuman terhadapnya. Barangsiapa tidak memenuhi seruan Allah dan
RosulNya, ketika Dia menyerunya, maka Dia menghalangi antara hatinya
dengan kehendaknya. Akibatnya, setelah itu, ia tidak bisa lagi memenuhi
seruanNya. Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
اسْتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rosul apabila Rosul menyeru kamu kepada suatu
yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” {QS. Al-Anfal: 24.}
Allah telah menyatakan hal ini dalam firmanNya,
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُواْ بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati
dan pengelihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya
(Al-Quran) pada permulaannya.” {QS. Al-An’am: 110.}
Dia berfirman,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” {QS. Ash-Shoff: 5.}
Dia berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan
menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka
hingga dijelaskanNya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” {QS.
At-Taubah: 115.}
Dan, ini banyak dalam Al-Quran.”
Pelajaran dari kisah perang tabuk,
ketika Shahabat Ka’ab bin Malik rodhiyallaahu ‘anhu yang menunda ikut
berangkat berperang di peperangan tabuk. Dikutip dari “Jaami’ As-Sirooh”
Al-Imam Ibnu Qoyyim rohimahullaah, Penyusun; Yusri Sayyid Muhammad.
Edisi terjemah: “Sejarah Hidup Nabi Muhammad & Para Shahabat”, hal.
273, Daar An-Naba’.
Artikel: www.KisahIslam.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar